TEMARAM SENJA
Oleh : Yuli Trianto
Aaaah… Aku tak mau tersiksa dengan menunggu. Bukan kebiasaanku
menghabiskan waktu dengan lamunan kosong tanpa makna. Aku terbiasa berteman
dengan kertas dan pensil. Kemanapun pergi dua benda itu tak mungkin lupa.
Bagiku kertas dan pensil adalah sahabat sejati. Selalu saja mengerti tentang
aku. Apapun yang terjadi, dua benda itu setia membersamaiku.
Jika rasaku berkecamuk karena waktu
Mataku terkulai, terkuras hempasan angina sore
Jantungku berdegup membela hak sel-sel darah yang ingin berkelana
Aku menjelma sosok dewasa
Menggurui diriku sendiri.
Sebait puisi mengawali coretanku. Ini adalah ungkapan perasaanku
tentang waktu dan menunggu. Aku tak mau menunggu itu menyiksaku, melelahkan
jiwaku. Membuat ngantuk mataku. Memunculkan perasaan galau, kacau dan
semacamnya. Aku berusaha menghibur diri, menjelma sebagai seorang yang bijak
menasehati agar apa yang aku alami itu tidak memenjarakan perasaan, bahkan
menyiksaku. Ha..ha..ha.. lucu sih, berpuisi itu lucu. Seperti bermain peran.
Adakalanya aku harus tampil sebagai seorang dewasa yang leluasa berkata-kata,
mengeluarkan kata-kata nasihat. Yaaa… menasehati diriku sendiri. Biarlah, aku
tak peduli. Bagiku puisi itu bidadari, baik hati, suka menolong, dan selalu
mengerti tentang aku. Puisi itu satria pemberani, penyelamatku ketika aku dalam
kesulitan. Seperti saat ini, aku disandera oleh waktu. Jaaaah… semakin membuat
bingung saja kan aku berkata-kata? Sekali lagi aku tak peduli.
Temaram senja memikat hati
Mengelabuhi dengan pesona warna
Mengikat serat bergelantung bergulung-gulung
Mengantri untuk dipanggili
Melebur cahaya membiru syahdu
Mengantarkan pada peraduan malam.
Ketika pandangan kusebar menyeluruh ke area terbuka, sore itu
cahaya sungguh terlihat indah. Matahari tidak begitu leluasa memancarkan
cahayanya. Di samping karena posisinya sudah hampir turun ke ufuk barat, juga
karena terhalang oleh gumpalan asap putih. Udara mulai berasa dingin sore itu,
menyempurnakan suasana senja dalam temaram yang mempesona menghantarkan siang
pada senja yang aduhai. Aku hanya bisa berkata-kata. Iya… semampuku melukiskan
keindahan sore itu untuk menghibur diri.
Aku melempar pandanganku pada selasar depan ruang tunggu. Petugas
kebersihan sekolah berkali-kali lewat di depanku. Menyapa, tersenyum, tetapi
tidak sampai mengajak berbicara panjang, seolah paham betul dengan apa yang
sedang aku perbuat. Fokus pada pot-pot besar yang berbaris rapi di depan,
sepanjang selasar. Aku mengagumi tatanan pot bunga itu tidak hanya berfungsi
memperindah ruangan, tetapi manfaat lainnya adalah menjadikan udara semakin
segar, menyulap suasana sekolah sejuk mempesona. Mataku terpaku pada zona
tanaman anthurium. Semua pot besar, kecil menyuguhkan anthurium dengan tatanan
apik.
Pada sudut dinding cahaya membias perak
Menerpa sebaris anthurium
Senja memanjakan daun-daun menari malu
Sangat tahu dan tak mau wajahnya dihinggapi semburat lelah
Anak manja sedari tadi duduk terpaku
Menikmati rasa, melukis aksara memuja temaram
Senja merengkuhku dalam dekapan kedamaian
Membisikiku dengan desah menggoda
Tentang syair alam temaram senja.
Aku terkejut ketika tiba-tiba bahu kananku ditepuk seseorang. Cepat
menoleh ke belakang. Ternyata satpam sekolah mengingatkanku jika sedari tadi
jemputan sudah menunggu di halaman parkir. Tidak jauh sebenarnya dari tempatku
menunggu. Tetapi saking asyiknya menulis sampai suara klakson mobil tidak terdengar olehku. Mas
Rusli tersenyum ketika aku menoleh ke arahnya. Kertas dan pensil yang sejak
tadi menemaniku menunggu Mas Rusli segera aku selipkan ke anak tas.
“Kenapa lama sekali mas, HP Mas Rusli juga tidak aktif?”
“Maaf mbak, HP lowbath konektor charger di mobil rusak, perempatan
bandara macet total, lebih dari satu jam.”
“Memang ada apa mas?”
“Pawai hari santri kan, sekolah gak ikut to?”
“Ikut mas, hanya perwakilan.”
Percakapanku dengan Mas Rusli mengiringi perjalanan pulang sore
itu. Berkali-kali dia minta maaf atas keterlambatannya menjemputku. Tak apalah,
namanya juga di jalan tidak bisa diprediksi lancar tidaknya. Rasaku masih saja terbawa memuja temaram
senja. Sepanjang jalan lampu-lampu mulai menyala. Seolah berebut membiaskan
cahaya warna-warna. Mataharipun harus rela mengalah posisinya digantikan
lampu-lampu kota.
Temaram melambai-lambai
Menyibak kerudung jingga hingga wajahnya terlihat sebagian
Menebar senyum, meresap sampai ke relung-relung
Temaram mengibaskan rambut panjangnya
Hingga helainya tersangkut di paru-paru kota
Apakah karena enggan berpisah?
Ingin menemani malam hingga kembali siang?
Temaram tersenyum manja
Tangannya bergelayut pada puncak-puncak menara
Melambai, menggapai pesona senja.
Petang ini suasana menenteramkan hati. Yaaaaah… wujud kepedulian
puisi terhadapku. Tadi kan aku bilang, puisi bagiku itu bidadari. Selalu saja
hadir tepat ketika aku membutuhkannya. Terbukti tidak berasa jenuh kan? Waktuku
menunggu Mas Rusli tanpa berasa terlewatkan. Sampai di halaman rumah aku turun.
Pintu rumah terbuka sedikit. Tandanya bundaku paham aku pulang. Bunda tak
membalas salamku ketika aku masuk rumah. Aku paham pasti bunda sedang
menunaikan sholat maghrib di mushola dekat ruang belajar. Aku hanya menaruh tas
sekolahku di meja belajar. Tanpa ganti baju lebih dahulu bergegas mengambil
wudu menyusul bundaku di mushola. Selesai solat aku peluk erat bundaku. Kuciumi
kedua pipinya. Hangat berasa, seolah menyatu dengan suasana temaram yang aku
lukis dalam puisiku sepanjang sore. Selamat malam, temaram petang berganti,
melucuti busana mengganti gaun malam.
Posting Komentar untuk "TEMARAM SENJA"